Oleh: Iman Soleh Hidayat*
Setiap tanggal 8 Maret perempuan di seluruh dunia memperingati ” Internasional Women’s Day” atau Hari Perempuan Internasional.
Secara singkat bisa di katakan bahwa tanggal 8 Maret ini merupakan momentum yang menandai sebuah capaian di bidang sosial, ekonomi,budaya dan politik perempuan dalam konteks keseteraan di ruang publik.
Namun peringatan yang di lakukan setiap tahun ini sejatinya menjadi media reflektif untuk kondisi perempuan secara utuh dan menyeluruh, bukan hanya peringatan yang bersifat seremonial yang berkelanjutan; dimana masih banyak kaum perempuan yang belum seutuhnya bisa merasakan dan memaknai Hari Perempuan Internasional ini.
Domestifikasi
Salah satu problem yang masih banyak kita temukan adalah domestifikasi perempuan, di mana cara pandang yang menempatkan perempuan di ruang domestik.
Penempatan perempuan di ranah domestik yang hanya berkutat antara ” sumur”, “dapur” dan “kasur”. Kondisi ini seringkali bukan pilihan merdeka dari perempuan itu sendiri, tetapi banyak kasus bahwa penempatan perempuan di ruang domestik itu lahir dari cara pandang yang keliru, baik dari perempuannya sendiri, suami, keluarga dan masyarakat. Bahkan tidak sedikit cara pandang ini melekat erat dengan pemahaman keagamaan.
Perempuan dalam ruang publik
Dalam buku “Argumentasi Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an” karya Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof Dr. Komarudin Hidayat dalam pengantarnya menulis terkait citra ideal perempuan dalam Al-Qur’an. Lebih jauh beliau menjelaskan:
- Mempunyai kemandirian politik. (QS. 60: 12; QS 27:23)
- Memiliki kemampuan ekonomi (QS. 16: 97; QS. 28:23)
- Memiliki kemampuan pengambilan keputusan (QS. 66:11; QS.9:71).
Keberadaan kaum perempuan dalam ranah publik pun semakin terang benderang dalam panggung sejarah Islam periode awal ketika banyaknya para sahabat di kalangan perempuan yang tampil di ruang publik. Munculnya nama-nama seperti Sayidah Khadijah istri pertama Nabi, Aisyah binti Abi Bakar, Ummu Salamah, Hafshah binti Umar, mereka tampil ke ruang publik dengan berbagai macam bidang, baik di dunia pendidikan, ekonomi, dan perang.
Eksistensi perempuan di ruang publik semakin dikukuhkan di periode Islam selanjutnya–bagaimana perempuan tampil sebagai kelompok ulama perempuan; mereka mengajar bukan hanya untuk kaum perempuan saja akan tetapi ulama perempuan ini pun mengajarkan ilmunya ke kaum laki-laki; suatu pemandangan yang menarik dimana ruang belajar tidak mengalami segregasi jenis kelamin.
Munculnya kelompok ulama perempuan seperti Sayidah Nafisah, Qurrah Al Ain, Sayidah Nizham dan masih banyak lagi –menurut catatan As- Sakhawi, ada sekitar 1.075 perempuan terkemuka, 405 diantaranya ahli hadits dan fiqih. Ini sebagai bukti kongkrit perempuan mendapatkan kebebasan untuk mengisi ruang publik.
Bahkan untuk konteks Indonesia banyak pahlawan dari kaum perempuan yang muncul ke ruang publik seperti diantara nya Marthal Christina Tiahahu, Cut Meutia, Rasuna Said, Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Nyai Ahmad Dahlan dan RA. Kartini.
Penutup
Wacana pemisahan ruang domestik dan ruang publik tidak akan pernah selesai, tinggal bagaimana perempuan menentukan pilihan itu berdasarkan keputusan merdeka, independen dan pertimbangan kritis. Bukan sebaliknya, yakni sebuah keputusan yang di paksakan, intimidatif, manipulatif dan tidak mau mendengar suara perempuan.
Selamat memperingati hari perempuan sedunia.
Wallahu alam bis-showab
Iman Soleh Hidayat, pegiat Forum Kajian Paramuda Persis (FKPP)