Dunia medsos sempat menghangat ketika ada salah satu ustadzah seleb menyatakan dalam sebuah ceramahnya bahwa kekerasan dalam rumah tangga itu aib keluarga yang tidak boleh di ceritakan kepada orang lain, bahkan sang ustadzah kondang itu lebih lanjut mengatakan hanya perempuan “lebay” yang membuka urusan rumah tangga sendiri ke publik.
Sementara jauh di negeri Iran sana nasib tragis menimpa seorang ibu rumah tangga bernama Mona Hayderi (17 tahun) yang di bunuh oleh suaminya dengan cara dipenggal lehernya oleh suaminya sendiri, dan hal yang lebih sadisnya lagi kepala istrinya itu ditenteng dipamerkan sambil berjalan-jalan dibarengi senyuman.
Dalam kadar yang berbeda narasi di atas sangat terang benderang mengandung muatan kekerasan terhadap perempuan secara substantif.
Apa yang di sampaikan oleh ustadzah Oki ini jelas mengandung “kekerasan wacana”, bahwa tafsir “bolehnya suami memukul istri” disampaikan secara simplistis, tekstual dan tidak proporsional; beliau tidak memberikan penjelasan yang komprehensif, kontekstual dan integral.
Dalam wacana tafsir bolehnya suami memukul istri itu hanya salah satu versi bentuk tafsir para ulama terhadap ayat 34 dalam Qur’an surat An-nisa.
Padahal di luar itu masih banyak versi lain yang menjelaskan muatan atas ayat tersebut yang lebih progresif dan kekinian. Contohnya apa yang di jelaskan Muhammad Syahrur dengan memberikan catatan bahwa ayat tersebut bisa di tafsirkan dengan jalan “arbitrase” di antara suami dan istri.
Lain dari apa yang telah dilakukan oleh ustadzah OKI yang telah melakukan kekerasan wacana, kejadian yang terjadi di Iran sudah masuk pada “kekerasan tindakan”, ketika pelaku dengan sadar menghilangkan nyawa seseorang dalam hal ini istrinya secara sadar dan terencana.
Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di mana saja merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Sehingga apapun bentuknya baik kekerasan wacana apalagi kekerasan tindakan sudah selayaknya tidak mendapatkan tempat di negeri ini, baik ditinjau dari segi instrumen regulasi dan moralitas agama.
Konvensi CEDAW yang kemudian diratifikasi menjadi UU penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) jelas berbicara tentang perlindungan terhadap perempuan dari tindakan kekerasan. Begitu pula tidak ada satu pun agama yang menerima perlakuan kekerasan terhadap perempuan.
Sudah “on the track” bangsa ini untuk melakukan perlindungan terhadap perempuan. Bahkan sekarang DPR RI sedang melakukan pembahasan serius terkait Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS).
RUU ini sangat berpihak pada korban. Yang mana selama ini korban dari kejahatan kekerasan seksual ini tidak pernah mendapatkan rasa keadilannya. Maka harapan besar untuk memenuhi keadilan korban ini tidak ada jalan lain dengan segera mensyahkan RUU TPKS ini menjadi undang-undang.
Dengan adanya instrumen regulasi yang jelas dan ditambah dengan suara moralitas agama maka ke depan kekerasan terhadap perempuan tidak ada lagi tempat di negeri tercinta ini.
Wallahu alam bis-showab.
Iman Soleh Hidayat, Sapa Institute dan pegiat Forum Kajian Paramuda Persis (FKPP)