Yeni Mulyani, seorang pendamping komunitas Bale Istri di Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, sehari-harinya menjalankan segudang aktivitas. Ia kepala kelompok wanita tani (KWT), bertugas di Kantor Kacamatan Paseh, aktif di Pos KB, dan berperan sebagai ibu rumah tangga dengan pekerjaan domestiknya.
Selama awal pagebluk 2020, aktivitas Yeni di luar rumah harus dibatasi. Namun pada masa karantina yang panjang itu ia masih tetap melakukan pengorganisiran secara online kepada para pemuda pemudi dan ibu-ibu di Bale Istri supaya aktif mencegah Covid-19.
Ia juga melakukan kerja-kerja domesti seperti ibu-ibu rumah tangga umumnya: memasak, mengurus anak, dan mencuci. Namun, pekerjaan-pekerjaan ini tidak sepenuhnya ia tanggung sendiri. Suaminya telah terbiasa ikut andil dalam pembagian peran domestik sebagaimana hari-hari sebelum adanya pandemi. Terlebih di masa pandemi suaminya tidak pergi bekerja karena tempat ia bekerja terkena kebijakan karantina.
“Karena ada di rumah terus, pekerjaan rumah tangga pun dilakukan bersama. Kaya sebelum adanya karantina juga suami mah suka bantuin. Kalo suami menyapu, teh Yeni ngepel, memasak barenga juga, suami ngulek saya motongin bumbunya,” ujar Yeni, sebagaimana dikutip dari laman resmi Sapa Institut.
Tak hanya itu, Yeni bersama suami berbagi peran dalam pengasuhan anak. Karena keluarganya telah dianugrahi seorang cucu, maka ia dan suaminya seringkali mengasuh cucunya tersebut secara bersamaan atau secara bergantian. Pembagian tugas juga dilakukan Yeni dan suami dalam mendampingi anaknya yang belajar online selama pagebluk.
Begitulah penggalan cerita pembagian tugas rumah tangga Yeni di keluarganya. Baik suami, istri maupun anak, harus bekerja sama dalam melakukan tugas-tugas domestik alias rumah tangga. Sebab pekerjaan rumah tangga bukan milik perempuan semata. Terlebih di saat dunia diguncang corona, kaum suami lebih sering di rumah. Momen ini tepat begi suami untuk terjun melakukan kerja-kerja rumah tangga.
Lahirnya Sapa Institute
Bale Istri yang diasuh Yeni merupakan komunitas yang didirikan Sapa Institute, organisasi nirlaba yang sudah bergerak di bidang isu perempuan sejak 16 tahun lalu, berbasis di Kabupaten Bandung. Pada 2005 di awal pendiriannya, Sapa Institute masih berupa perkumpulan, diprakarsai oleh beberapa orang mahasiswa UIN SGD Bandung yang tergabung pada organisasi ekstra kampus, Gerakan Persatuan Mahasiswa Islam (GMPI).
Tiga perempuan dan dua laki-laki yang memprakarsai Sapa Institute, yaitu Sri Mulyati, Sumiyati, Lia Mariati, Ridwan Affandi, dan Dindin Saripudin. Mereka berangkat dari pemikiran yang sama, bahwa perempuan bukan hanya bertugas mengatasi masalah-masalah domestik, perempuan juga harus memiliki akses yang sama di masyarakat, mendapatkan hak-haknya, terhindar dari kekerasan, dan lain-lain.
Dalam perjalanannya, Sapa Institute yang kemudian menjadi yayasan, memperjuangkan misi terkait isu-isu keperempuanan dengan membentuk komunitas, yaitu Bale Istri, Bale Laki-Laki, dan Bale Remaja. Bale Istri merupakan komunitas di desa bagi istri-istri untuk memperoleh informasi mengenai isu perempuan, mengadvokasi, maupun kegiatan lainnya.
Bale Laki-Laki dibentuk sebagai dukungan kepada Bale Istri. Hal ini agar adanya sinergitas bagi kaum perempuan dan laki-laki. Sedangkan Bale Remaja merupakan komunitas bagi pemuda-pemudi untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi, edukasi mengenai kekerasan, dan sebagainya.
BandungBergerak berkesempatan berbincang dengan salah satu pendiri sekaligus Ketua Pengurus Sapa, Sri Mulyati. Sri bercerita, bahwa Sapa Institute bermula dari sekumpulan mahasiswa yang tergabung pada lembaga otonom GPMI yang fokus melakukan kajian dengan pendekatan sosiologi dan pemikiran filsafat. Lembaga kmapus ini juga mengkaji kesetaraan gender dalam Islam dan relasi laki-laki dan perempuan.
GPMI memiliki bidang kajian khusus tentang perempuan, yaitu Lembaga Kajian Perempuan (LKP). Melalui LKP inilah mahasiswa yang tergabung sering berdikusi, bedah buku, atau melakukan seminar untuk mengetahui lebih lanjut mengenai isu-isu gender. LKP banyak terlibat kajian lapangan. Program lapangan ini dijalankan oleh divisi Pengembangan Masyarakat Islam.
Ketika melakukan kegiatan latihan kepemimpinan di pesantren-pesantren dan bakti sosial bersama ormas-ormas Islam lainnya, mereka banyak melihat mencuatnya persoalan-persoalan perempuan, mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), minimnya akses perempuan dalam kegiatan publik, kepemimpinan, dan persoalan kesehatan ibu dan anak.
“Sekitar tahun 2000 itu kan awalnya berdiri LKP-ya. Kemudian kita berefleksi bahwa ternyata isu perempuan itu tidak bisa selesai hanya lewat forum-forum kajian, diskusi, dan seminar saja. Tapi perlu aksi yang konkret di masyarakat. Jadi setelah kami semua selesai (lulus kuliah), akhirnya kami membentuk Sapa Institute,” tutur Sri Mulyati, saat ditemui di Hotel Grand Daffan, Braga City Walk, Bandung, Rabu (1/12/2021).
Pembentukan Sapa Institute diawali serangkaian penelitian dan wawancara dengan berbagai kelompok perempuan di desa. Hasil penelitian ini ternyata menguatkan informasi-informasi yang sudah mereka miliki sejak masih aktif di LKP, yaitu masalah KDRT, perdagangan manusia, angka kematian ibu dan anak yang tinggi, persoalan buta huruf perempuan, dan sebagainya.
“Namun di tengah persoalan itu, partisipasi perempuan di ranah publik masih minim. Misalnya keterwakilan perempuan dalam musyawarah desa maupun kecamatan. Karena dianggap sudah diwakili oleh laki-laki. 30 persen aja gak ada keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan di forum musyawarah desa dan kecamatan,” tambahnya.
Hasil kajian tersebut semakin menguatkan pendirian Sapa Institute yang diniatkan untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan, menyuarakan hak-hak perempuan, kampanye kesehatan reproduksi, dan seterusnya.
Kini, sudah 16 tahun Sapa Institute berdiri dan membentuk komunitas-komunitas di perdesaan, salah satnya Bale Istri di Kecamatan Paseh yang digerakkan Yeni Mulyani dan kawan-kawan. Selama 16 tahun melakukan pendampingan, bukan hanya keberhasilan yang diraih, tetapi banyak pula jalan terjal yang harus dilalui.
Wadah Bersuara bagi Perempuan dan Komunitas
Karena fokusnya terhadap isi-isu perempuan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya, Sapa Institute membentuk komunitas perempuan dengan nama Bale Istri. Pembentukan komunitas ini bukan tanpa alasan. Sri Mulyati mengatakan, selain sebagai komunitas, Bale Istri juga sebuah metode yang lahir berkat hasil kajian lapangan. Diharapkan melalui Bale Istri suara-suara perempuan bisa lebih didengar dan hak-haknya diperjuangkan.
Melalui komunitas Bale Istri, perempuan-perempuan desa menemukan wadahnya untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai hak-hak mereka. “Jadi Bale Istri sebagai pusat informasi, komunikasi, pendampingan, dan advokasi bagi perempuan di desa,” jelas Sri.
Tetapi Bale Istri tidak bisa bergerak sendiri, sebagai mana urusan rumah tangga yang tak bisa sepenuhnya dikerjakan oleh perempuan. Makanya, Sapa Institute membentuk Bale Laki-Laki dan Bale Remaja. Pembentukan Bale Laki-Laki didasari pada kebutuhan dukungan, keterlibatan, dan perjuangan laki-laki pada persoalan-persoalan perempuan.
Pembentukan Bale Remaja pun tak kalah pentingnya. Kata Sri, remaja memiliki persoalan tersendiri yang bisa berpengaruh secara jangka panjang, menyangkut masa depan remaja. Di kalangan remaja terdapat masalah kekerasan dalam pacaran, minimnya informasi tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak seksual.
Sri menyimpulkan, bahwa ketiga komunitas—Bale Istri, Bale Laki-laki, dan Bale Remaja—itu saling berkaitan dalam mengatasi persoalan isu perempuan.
Terkendala Akses
Kini, sudah ada empat kecamatan yang memiliki komunitas Bale Istri, yaitu Kecamatan Paseh, Kecamatan Majalaya, Kecamatan Arjasari, dan Kecamatan Ciparay. Koordinator Pendamping Kasus dan Komunitas, Sugih Hartini, menyampaikan wilayah yang memiliki komunitas Bale Istri memiliki kemajuan terhadap pemahaman mengenai isu-isu perempuan. Mereka bahkan memiliki keberanian untuk melaporkan kasus yang dihadapi atau kasus yang terjadi di sekitarnya.
Hal itu berbeda dengan wilayah atau kecamatan yang belum memiliki komunitas di mana isu perempuan masih tertinggal. Hal itu tak lepas dari keterbatasan akses informasi dan posisi wilayahnya yang jauh dari perkotaan. Tidak sedikit perempuan desa yang tidak sadar bahwa dirinya dirinya pernah menjadi korban KDRT maupun kekerasan seksual.
“Kalau untuk wilayah perdesaan karena mereka jauh dari akses informasi tentang hak-hak perempuan. Nah itu agak cukup sulit juga untuk mereka mengerti situasi dan kondisi keadaan sekarang. Kadang-kadang mereka cukup awam apalagi mengenai hukum,” ungkap Sugih Hartini, melalui telepon, Rabu (1/12/2021).
Ketika melakukan pendampingan kasus KDRT, Sugih dan teman-teman di komunitasnya sudah memiliki prosedur pendampingan. Kasus tersebut akan dimulai dengan langkah mediasi. Selain itu, Sapa Institute berupaya untuk memberikan pelayanan ekonomi bagi penyintas KDRT melalui kerja sama dengan Kementrian Sosial.
Pendampingan terhadap kasus kekerasan seksual berbeda lagi. Untuk kasus ini, Sapa Institute mengupayakan membawanya ke ranah hukum. Meskipun untuk menempuh jalur ini mereka harus menempuh jalan terjal yang panjang.
Komitmen Sapa Institute
Sebagai lembaga yang fokus pada isu perempuan, Sapa Institute memiliki program-program strategis. Salah satunya adalah penguatan komunitas sebagai pusat informasi, komunikasi, pendampingan, dan advokasi mengenai hak-hak perempuan. Kemudian, menjadikan Bale Istri sebagai Pusat Layanan Komunitas.
Sapa Institute tidak hanya bergerak menguatkan komunitas yang dibentuknya. Mereka juga memperkuat kelompok-kelompok perempuan seperti PKK, komunitas pesantren, dan komunitas pengajian. Selain itu, Sapa Institute aktif mendorong lahirnya kebijakan yang pro terhadap perempuan dari tingkat desa maupun nasional.
“Termasuk mendorong lahirnya berbagai kebijakan yang kondusif juga di tingkat provinsi dan nasional. Salah satunya yang sedang diperjuangkan itu RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual),” jelasnya.
Program rutin yang dijalanakan Sapa Institute antara lain edukasi kepada masyarakat melalui seminar maupun kampanye media lainnya agar masyarakat mengenal tentang hak-hak perempuan. Sapa Institute melakukan pertemuan sebulan sekali dengan komunitas-komunitas bentukannya. Di saat pandemi, pertemuan rutin ini kadang harus ditunda atau dialihkan secara virtual.
Namun di masa pagebluk tantangan yang dihadapi perempuan lain lagi. Sugih Hartini menilai terjadi peningkatan kasus terkait perempuan, mulai KDRT, kekerasan seksual, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), dan pernikahan dini.
Sugih menyatakan kekerasan seksual maupun KBGO belakangan ini banyak terjadi di kalangan anak dan remaja. Fenomena ini disinyalir terjadi karena meningkatnya penggunaan gawai atau internet selama pandemi. Di sisi lain, usia anak dan remaja cenderung memiliki rasa penasaran yang tinggi, termasuk kepada hal-hal terkait seksualitas.
Soal lainnya, pagebluk juga memicu peningkatan pernikahan dini. Fenomena ini justru didorong sikap kekhawatiran berlebihan orang tua terhadap anaknya. Sugih bercerita, di perdesaan banyak remaja yang dilanda kebosanan selama harus menjalani rutinitas sekolah daring yang monoton. Salah satu jalan keluar dari rutinitas itu ialah pacaran.
Orang tua yang mengetahui anaknya sudah punya pacar merasa khawatir. Mereka akhirnya mengambil jalan pintas dengan menikahkan anaknya.
“Mereka di perdesaan itu berpikir karena sekolah daring dan gak tau sampai kapan, terus mereka bosan gak tau ngapain. Mereka juga sudah mulai berbapacaran, jadi orang tau itu pada khawatir. Jadi ya udahlah, nikahin aja anak saya, gitu katanya. Makanya ada peningkatan pernikahan anak selama pandemi ini,” ungkap Sugih.
Sempat Dicap Radikal dan Liberal
Usia 16 tahun bagi Sapa Institute bukanlah usia singkat dan mudah. Di awal pendirannya, organisasi ini harus melewati usaha “berdarah-darah” dan mendapat pandangan buruk dari beberapa pihak. Sapa Institute bahkan sempat dicap sebagai kelompok radikal dan pendukung liberalisme.
Sri Mulyati bercerita, pada awal pembentukan, pemerintah maupun aparat belum terbiasa dengan lembaga masyarakat yang merilis data yang berbeda versi pemerintah mengenai kekerasan terhadap perempuan.
“Sehingga di awal-awal perjuangan itu menimbulkan resistensi dari pemerintah daerah dan juga aparat penegak hukum,” ungkap Sri.
Tidak hanya itu, isu-isu perempuan masih dianggap berasal dari barat dan melanggar nilai-nilai agama. Padahal, korban yang didampingi oleh Sapa Institute berasal dari lingkungan sekitar, begitu juga pelakunya, yang tidak ada hubungan sama sekali dengan dunia barat.
Sapa Institute pernah dianggap sebagai agen liberal. Kondisi masyarakat Jawa Barat yang masih kuat dengan paham tradisional keagamaannya menyebabkan persepsi yang berbeda pada organisasi perempuan yang dianggap asing.
“Jadi ketika ada organisasi perempuan, itu dianggap adalah agen liberalisme. Bahkan di awal-awal ketika kami mensosialisasikan tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, itu kita dianggap agen Islam liberal,” ungkapnya.
Tantangan lainnya yang masih dihadapi hingga kini adalah penegakan terhadap pelaku kekerasan seksual yang masih lemah. Termasuk keamanan bagi pendamping korban yang konsisten diadvokasi oleh Sapa Institute. Sri kemudian menjelaskan bahwa salah satu funsi dari layanan komunitas Bale Istri adalah melakukan pendampingan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan.
Sedangkan, pelaku kekerasan sering kali mengancam dengan melibatkan preman dalam penanganan kasus mereka. Sehingga hal ini mengancam keamanan bagi pendamping. Mirisnya, aparat penegak hukum tidak memberikan perlindungan bagi pendamping. Akhirnya, pendamping Sapa Institute harus melindungi dirinya sendiri.
Senada dengan Sri, Sugih juga menyampaikan hambatan-hambatan yang dialami dalam pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebab, ada beberapa kasus yang didampingi oleh Sugih akhirnya berakhir dengan pencabutan perkara oleh korban. Ini terjadi karena korban mendapatkan teror dan intimidasi.
“Si keluarga korban banyak mendapatkan intimidasi, dapat teror. Akhirnya keluarga korban menyerah dan mencabut perkara,” ungkap Sugih.
Sugih mengamini bahwa relasi kuasa masih kuat pada kasus dan proses penanganan kekerasan seksual. Sebagai contoh, ada pelaku yang melakukan intimidasi korban dengan cara memakai tangan ormas atau LSM.
Selain itu, penanganan hukum yang lamban dari pihak kepolisian juga menjadi salah satu permasalahan yang kerap dihadapi. Salah satunya kasus kekerasan anak yang didampingi oleh Sugih. Kasus tersebut sudah terbengkalai selama satu tahun, dengan alasan pelakunya tidak dikenal dan bukan berada di wilayah kepolisian tersebut.
Ada juga kasus ajakan damai dari pihak pelaku. Padahal menurut Sugih, damai bukanlah hal yang sepadan dengan trauma dan akibat yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual. “Mereka menawarkan mediasi secara kekeluargaan, namun kita mengupayakan untuk tidak menerima itu. Karena itu tidak sepadan dengan penderitaan yang dirasakan oleh korban dan keluarga. Makanya kita juga minta bantu perlindungan dari LPSK juga,” jelas Sugih.
Pemerintah dan DPR silakan ke Lapangan
Pengurus dan penggerak Sapa Institute kini sudah memasuki generasi keempat. Sri bilang bahwa saat ini 60 persen kepengurusan diisi oleh para pemuda-pemudi dengan presentasi perempuan lebih banyak yaitu 70 persen. Sri berharap ke depannya akan muncul generari baru yang bisa memunculkan kepemimpinan perempuan yang baru di organisasi perempuan ini. Ia juga berharap Sapa Institute terus konsisten sebagai lembaga yang mengawal isu perempuan, dan menjadi lembaga perempuan yang terus eksis di Jawa Barat maupun nasional.
Pemerintah dan aparaturnya diminta serius dalam melakukan penegakan hukum bagi kasus-kasus kekerasan seksual. Misalnya, kepolisian harus bergerak cepat jika mendapat laporan kasus kekerasan seksual. Begitu juga DPR yang dituntut segera mensahkan RUU TPKS yang lama terkatung-katung di tengah korban yang terus berjatuhan.
“Tidak perlu lagi berdebat soal bahwa ini dari liberal, dari barat, bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ya, lihat saja bagaimana kondisi penanganan kasus kekerasan seksual di lapangan. Karena selalu asumsinya bahwa data kekerasan seksual itu dibuat-buat. Ya, mereka turun saja ke lapangan langsung untuk melihat bagaimana penanganan kekerasan seksual bagi korban,” tutup Sri. ***
Penulis Awla Rajul. Sumber: bandungbergerak.id