Oleh Iman Soleh Hidayat
Ramadhan sering disebut juga dengan bulan Al-Quran (Syahrul Qur’an). Alasannya karena di bulan inilah Al-Quran diturunkan kepada Muhammad Rasulullah SAW melalui wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril.
Di bulan Ramadhan umat Islam menjadikan bulan ini momentum untuk membaca, memahami, dan menafsirkannya. Hal ini bisa kita lihat begitu semarak kegiatan-kegiatan diselenggarakan di berbagai tempat baik itu masjid, pesantren bahkan tidak sedikit kajian itu diadakan di hotel bintang lima.
Umat Islam sangat dianjurkan membaca Al-Quran sebagai amalan utama bagi yang sedang berpuasa di bulan ini di luar amalan lainnya. Walaupun hanya sebatas membaca tanpa faham akan maknanya (tadarus/ngaderes). Karena ada keyakinan bahwa dengan semakin sering membaca Al Qur’an pundi pahalanya akan terus bertambah.
Posisi Al-Qur’an di kalangan umat Islam sangatlah sentral. Bukan hanya sebagai kitab suci (scripture) seperti yang dikatakan WC.Canwell Smith akan tetapi Al Qur’an ini disebut sebagai kitab petunjuk “inilah kitab yang tidak mengandung keraguan.” (QS. 2:2); dan “Sesungguhnya Al Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.” (QS: 17:9). Lantas pertanyaannya upaya apakah yang harus dilakukan untuk bisa menjadikan kitab suci ini menjadi kitab petunjuk?
Membaca dan Menafsir
Untuk menjadikan kitab suci Al-Qur’an menjadi kitab petunjuk ini setidaknya bisa dicapai dengan aktivitas membaca dan menafsir. Kegiatan membaca merupakan langkah awal ketika kita akan masuk pada dunia makna Al-Qur’an. Ada pra-syarat dari ulama, sebelum membacanya harus terbebas dari hadast, baik hadast kecil maupun besar, sehingga sangat dianjurkan sebelum membacanya untuk mengambil air wudhu dulu. Bersuci.
Terlepas dari perbedaan pendapat dalam hukumnya, bagi ulama yang menganjurkannya beranggapan sebagai upaya pensucian diri sebelum bergumul dan berdialog dengan kitab suci. Karena bagi mereka, tidak mungkin pesan pesan kitab suci bisa diterima dengan baik oleh diri yang tidak suci. Sifat Al-Qur’an yang suci hanya bisa didatangi dengan diri yang suci.
Kegiatan kedua yang sangat penting setelah membaca nya adalah kegiatan menafsir. Aktivitas ini sebagai upaya memahami pesan pesan kitab suci Al-Qur’an lebih luas lagi. Bukan seperti aktivitas membaca yang hanya masuk dunia makna dipermukaan saja, maka dengan aktivitas menafsir pembaca akan diajak ke samudera makna yang sangat kaya ragam dan paling dalam. Karena Al-Qur’an itu bersifat yahtamil wujuh al- ma’na.
Menafsir Merupakan Kata dari Aktivitas “Tafsir”
Adapun kata tafsir berasal dari bahasa Arab yaitu fasara, yufasiro tafsiran yang berarti penjelasan pemahaman dan perincian. Tafsir ini juga sering juga bermakna “al-idlah wa at tabyin,” penjelasan dan keterangan.
Sementara secara terminologi pengertian tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara mengambil maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung didalamnya (az-Zarkasyi).
Living Qur’an
Aktivitas membaca dan menafsir ini bertujuan untuk bagaimana Al Qur’an ini senantiasa hidup menyertai dan membersamai para pembacanya, dalam hal ini umat Islam. Maka dari itu aktivitas membaca dan menafsir ini tidak boleh berhenti. Berhenti melakukannya berarti “membunuh” Al Qur’an itu sendiri.
Karena dengan demikian Al Qur’an tidak akan pernah lagi menjadi kitab petunjuk; dan Al Qur’an akan di tinggalkan oleh pembacanya dengan alasan dianggap sudah tidak lagi “shalih lil kulli zaman wal makan“, tidak selaras dengan kebutuhan zaman.
Kebutuhan Tafsir Saat ini
Kitab suci Al-Qur’an memiliki magnet tersendiri. Baik bagi umat Islam atau pun non-muslim. Hal ini bisa kita buktikan begitu banyak bentuk kajian yg sudah dilakukan. Kesinambungan kajian dari masa klasik hingga kontemporer tidak pernah terputus. Munculnya nama-nama mufasir seperti At-Thabari, Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, Zarkasyi dan lain-lain di zaman klasik. Seperti gayung bersambut dunia penafsiran dilanjutkan oleh nama-nama yang konsen dalam studi Al Qur’an ini di masa kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Naser Hamid Abu Zaed, Farid Essack, Asghar Ali Engineer, Rifat Hassan, Amina Wadud dan lain-lain di kalangan muslim. Serta munculnya nama-nama Jhon Wansbrough, Howard M, Federspiel, Andrew Rappin dan sebagainya dari kalangan islamisis.
Memasuki awal abad 21 dunia penafsiran terhadap kitab suci Al-Qur’an ini disemarakan dengan kajian dengan corak penafsiran feminis. Corak penafsiran feminis ini semakin menambah khazanah dunia tafsir semakin berwarna. Hal ini pun memungkinkan karena selama ini makna-makna Al Qur’an yang secara spesifik berbicara tentang ontologis penciptaan perempuan, jilbab,waris, persaksian, poligami dan lain-lain mengalami re-interpretasi atau penafsiran ulang.
Kemunculan penafsiran dengan corak feminis ini tidak begitu saja lahir. Tentu ada beberapa faktor baik internal dan eksternal yang melatarinya. Karena sebuah tafsir tidak pernah lahir di ruang yang hampa. Kemunculan tafsir dengan corak feminis muncul–meminjam istilah Thomas Khun–dikarenakan krisis yang dialami dalam paradigma penafsiran klasik. Bagi para pemikir feminis ini produk-produk tafsir mayoritas sekarang yang sering dijadikan rujukan utama dan pertama ini masih banyak mengandung bias terhadap perempuan. Kondisi inilah yang menyadarkan penafsir feminis menganggap urgen akan kebutuhan penafsiran dengan corak yang lebih feminis.
Kehadiran penafsiran dengan corak feminis ini sangatlah penting ketika kehidupan modern dinamis dimana kesadaran perempuan terhadap kondisi diri dan lingkungannya semakin meningkat. Maka penafsiran corak feminis ini diharapkan akan mengisi ruang-ruang kosong yang selama ini belum banyak diisi.
Corak penafsiran feminis ke depannya diharapkan akan menjadi rujukan bagi gerakan emansipatoris kaum perempuan ketika problem dunia perempuan yang belum beranjak dari kondisi sarat subordinasi, stereotif, dan diskriminasi bisa terselesaikan.
Dengan semakin banyaknya produk penafsiran dengan corak feminis ini, ke depan akan semakin memperkaya dunia makna terhadap Al Qur’an itu sendiri. Dengan demikian kitab suci Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk akan benar-benar menjadi quide dan kompas kehidupan bagi para pembacanya.
Penutup
Proses Nuzulul Qur’an yang dulu terjadi di awal pewahyuan tidak cukup diperingati setiap tahun di bulan Ramadhan ini dengan kegiatan seremonial saja. Tetapi dibutuhkan kegiatan serius dan terprogram dengan skema blue print yang jelas sebagai ikhtiar membumikan pesan-pesan langit yang ada dalam Al Qur’an sehingga dengan demikian Al Qur’an bisa benar-benar hidup menyertai dan membersamai para pembacanya.
Kebutuhan terhadap tafsir dengan corak feminis ini akan menjadi bola salju menuju pembebasan terhadap perempuan khususnya, dan akan menciptakan tata dunia yang lebih adil umumnya. Wallahu alam bis-showab.
Iman Soleh Hidayat, Pegiat Forum Kajian Paramuda Persis (FKPP)