Aksi Pamer Alat Vital di Bandung, Sapa Institute: Kekerasan Seksual

  • Whatsapp
tortoisemedia.com

Seorang pria pengguna motor tiba-tiba memamerkan alat kelaminnya di depan dua orang perempuan dan satu anak lelaki di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Aksi tersebut dinilai sebagai kekerasan bukan kelainan seksual yang mesti dapat dihukum.

Sebelumnya, pada pekan lalu (28/7/2020) seorang warga perempuan (25) ditemani keponakan perempuan sedang merekam kegiatan olah raga anaknya di lapangan. Seorang pria tidak dikenal tiba-tiba muncul dan mengarah ke lapang setelah memarkirkan motor bebeknya.

Awalnya mereka mengira pria tersebut akan buang air kecil. Namun semenit kemudian, pria tersebut justru mengarahkan alat kelamin kepada mereka. Sontak mereka pun kaget dan memutuskan untuk merekam aksi pria tersebut.

“Saya sama anak-anak mengiranya mau pipis. Tahu-tahunya gesek-gesek alat kelaminnya. Terus gak lama malah gitu (memamerkan alat kelamin),” katanya.
Ketua Pengurus Sapa Institute Sri Mulyati mengatakan, aksi yang dilakukan pria misterius tersebut tidak semerta-merta dianggap sebagai kelainan seksual. Ia menilai perilaku tersebut merupakan bentuk kekerasan seksual yang dapat diterapkan hukuman kepada pelakunya.

“Kalau saya tidak sepakat ini sebagai kelainan seksual, tapi lebih sepakat dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Ini kategorinya sebagai bentuk kekerasan seksual yang jenisnya pelecehan seksual,” kata Sri saat dihubungi melalui pesan singkat, Selasa (4/8/2020).

Menurutnya, apabila kasus tersebut dinilai hanya sebatas kelainan seksual maka disimpulkan pria tersebut memiliki penyakit. Namun, apabila dikategorikan sebagai kekerasan seksual, maka perlakuan yang dilakukan pria misterius tersebut dapat dinilai sebagai tindak pidana.

“Karena kalau disebut sebagai kelainan seksual hanya dianggap sebagai penyakit dan tidak berkonsekuensi bahwa pelakunya harus dihukum,”
“Tapi kalau dikategorikan sebagai kekerasan seksual maka dia sudah melakukan tindak pidana dengan unsur melakukan pelecehan seksual dan ada kesengajaan melakukanya. Sehingga harusnya bisa dihukum atas tindakan yang dilakukannya,” paparnya.

Kasus seperti ini marak terjadi bukan hanya di perkotaan melainkan pedesaan dengan akses informasi terkait kekerasan seksual yang rendah. Kemudian, kejadian serupa bisa terjadi kepada siapa saja dan di mana pun. “Di kostan, jalanan, kendaraan umum. Atau tempat-tempat umum lainnya yang menurut mereka (pelaku) strategis untuk mendapatkan korban,” katanya.

Namun bila melihat segi hukum pidana, kata Sri, perbuatan yang dilakukan pria tersebut tidak masuk dalam tindak asusila melainkan hanya sebatas perbuatan tidak menyenangkan yang meresahkan warga.

“Namun sayangnya dalam KUHP itu belum diatur karena hanya dikenal dua bentuk tindak asusila yaitu pemerkosaan dan pencabulan. Dan kasus ini tidak masuk ke dalam dua kategori ini. Makanya perlu ada UU Penghapusan Kekerasan seksual sebagai rujukan untuk proses pemidanaan kasus ini,” ucap dia.

“Karena kalau pun dipaksakan dengan UU yang ada, dia hanya masuk kategori sebagai perbuatan tidak menyenangkan yang menyebabkan keresahan publik,” imbuhnya.
Meski demikian, menjadi perhatian penting pula yakni pemulihan korban yang mengalami kekerasan seksual. Di mana, korban mestinya mendapatkan pelayanan konseling agar kembali pulih dari traumanya.

“Harusnya korban mendapatkan pemulihan atau konseling untuk menumbuhkan keberanian agar terbuka untuk melaporkan kejadian tersebut. Kalau untuk melupakannya tidak mungkin karena itu akan terus diingat,” ungkapnya.

Selain itu, ia pun berharap agar pihak kepolisian mampu mengamankan pelaku kekerasan seksual tersebut. Karena, pelaku masih berkeliaran dan akan memunculkan korban baru.
“Kepolisian harus memproses secara hukum pelaku tersebut dan melakukan edukasi kepada masyarakat agar mau melaporkan apabila menjadi korban atau melihat pelaku,” pungkasnya.***

Sumber: Muhammad Iqbal – news.detik.com

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *