Oleh: Iman Soleh Hidayat
Salah satu hari raya dari tiga hari raya yang di sabda-kan Rasulullah SAW itu adalah Idul Adha. Sebagian di masyarakat kita menyebutnya dengan lebaran Rayagung, Hari Raya Agung. Atau Idul Adha ini juga sering dinamakan dengan Idul Qurban, di mana saat itu jamaah ibadah haji menyembelih hewan qurban untuk dibagikan kepada fakir miskin.
Secara antropologis ibadah qurban ini merupakan ibadah yang ada di hampir semua aliran kepercayaan dan agama. Hanya saja muncul dalam bentuk, penyelenggaraan dan ekspresi yang berbeda. Namun secara substansial ritual persembahan qurban (sacrifice) dalam setiap agama bertujuan guna menciptakan kedekatan dan keharmonisan antara alam, manusia dan Tuhan.
Idul Adha dirayakan oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia. Tidak hanya bagi umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji di Arafah saja akan tetapi dirayakan juga oleh mereka yang berada di kampung halamannya masing-masing, sehingga lantunan takbir, tahlil dan tahmid menghiasi cakrawala semesta; lantunan yang bergemuruh mengetuk pintu langit untuk mengajak bersujud bersama sang semesta.
-000-
Dalam sebuah kisah di ceritakan Ali bin Husein bertanya pada Zuhri, “Berapa kira-kira yang wuquf di sini?” Zuhri menjawab, “Saya perkirakan ada sekitar empat atau lima ratus ribu orang. Semuanya haji, menuju Allah dengan panggilan nya.” Ali bin Husein berkata, “Hai Zuhri, sedikit sekali yang haji dan banyak sekali teriakan.” Zuhri keheranan, “Semuanya haji apakah itu jumlah yang sedikit?” Ali menyuruh Zuhri mendekatkan wajahnya kepadanya. Ali mengusap wajah Zuhri dan menyuruh melihat di sekelilingnya. Ia terkejut. Kini ia melihat monyet-monyet berkeliaran dengan menjerit -jerit. Hanya sedikit manusia di antara kerumunan manusia. Ali mengusap wajah Zuhri untuk kedua kalinya. Ia menyaksikan babi-babi dan sedikit sekali manusia. Kemudian Ali mengusap yang ketiga kalinya. Ia mengamati banyaknya serigala dan sedikitnya manusia.
-000-
Ibadah haji merupakan proses manusia kembali kepada fitrah kemanusiaannya. Karena selama ini manusia telah melemparkan dirinya sendiri dalam kehidupan yang rendah. Bukannya menjadi Khalifah di bumi–seperti tujuan penciptaan nya–malah menjadi monyet-monyet, babi-babi dan serigala-serigala dalam kehidupan.
Manusia saling memangsa dengan sesama. mereka bertikai dengan satu sama lainnya. Manusia berubah menjadi Homo Homini Lupus.
-000-
Pada kondisi yang lain kehidupan ini sepertinya mengalami puncak paradoksal. Dimana–salah satunya–kejujuran menjadi barang mewah. Banyak orang berbicara A tapi menjadi Z dalam perilakunya. Perilaku tidak jujur ini menjadikan manusia-manusia yang hipokrit dengan segala perilaku paradoks antara kebenaran dan kesalahan. Kepatutan dan ketidakpatutan. Lain di mulut lain di hati.
Manusia hipokrit hanya mementingkan dirinya sendiri. Mereka seringkali abai terhadap orang lain. Kebohongan menjadi gincu pemanis atas janji-janjinya.
Mereka yang hipokrit ini seringkali mengaku sedang membangun, tetapi sesungguhnya mereka itu sedang menghancurkan kehidupan (QS. Al. Baqarah:11).
-000-
Salah satu tokoh sentral dalam ibadah haji ini adalah Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim ini merupakan sosok yang lemah lembut, rasional, dan taat.
Semua sosok ini tergambar di dalam kitab suci Al Qur’an. Kelemahlembutan Nabi Ibrahim terlihat ketika mengajak bapaknya Azar seorang pembuat patung berhala untuk mengikuti ajaran tauhid yang di bawanya. (QS Maryam : 43)
Di dalam Al Qur’an pun di cerita kan bagaimana Nabi Ibrahim ini merupakan sosok yang rasional ketika dia terus menerus mencari Tuhan-nya. (QS Al-anam: 76-78)
Dan sifat ketaatan Nabi Ibrahim ini tergambar ketika Nabi Ibrahim disuruh menyebelih putra laki-laki tercintanya. Nabi Ibrahim tidak protes semua dilakukan dengan ikhlas karena yakin itu perintah Tuhannya. (QS. Ash-shafat : 102).
Nabi Ibrahim dijuluki sebagai bapak Monoteisme. Atau bapak Tauhid. Karena baginya kalimat Tauhid harus menjadi kalimat dan ajaran abadi bagi keturunannya.
Ajaran tauhid adalah ajaran yang menempatkan Tuhan itu Esa. Tuhan tempat meminta sesuatu. Tuhan yang tidak beranak dan diperanakan. Tuhan yang tidak bisa disamakan dengan Tuhan lainnya. (QS. 112: 1-4).
Ajaran tauhid ini mengandung implikasi yang luas dalam kehidupan. Ketika seseorang menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya yang harus disembah maka secara otomatis tidak ada lagi Tuhan lain dalam hidupnya.
Problem manusia itu adalah menganut banyak Tuhan (politeisme). Tuhan-tuhan kecil ini bisa berwujud jabatan, kekayaan, suami, istri, anak, kemewahan atau gaya hidup hedonis. Sehingga ketika tuhan-tuhan ini lebih didengar, dituruti dan ditaati maka kondisi seperti di atas tidak heran menjadi kenyataan; di mana manusia memakan sesama manusia, manusia tidak bisa jujur lagi pada dirinya sendiri, manusia ter-alienasi dengan dirinya sendiri, yang pada akhirnya manusia hanya menjadi robot-robot bernyawa yang tidak punya rasa kemanusiaan.
Dengan demikian kehidupan menjadi kaku, rigid dan mekanistik. Semua kesuksesan dan keberhasilan hanya diukur oleh angka dan materi. Kalau sudah demikian maka manusia sudah jatuh pada kondisi kehinaan secara spiritual.
-000-
Sayyed Husein Naser pernah menulis “manusia diciptakan dalam susunan yang terbaik. Tetapi kemudian ia jatuh pada kondisi bumi berupa perpisahan dan keterjatuhan dari asal usulnya yang illahiah”.
Kehidupan modern rawan menyeret manusia pada kondisi “keterjatuhan” seperti yang di katakan Nasr.
Ajaran tauhid yang di bawah oleh Nabi Ibrahim ini harus menjadi pemandu kompas kehidupan. Ajaran ini harus menjadi pondasi pertama dan utama. Kehidupan tanpa sinaran tauhid hanya akan mengantarkan pada kehidupan yang rusak secara sosial dan spiritual.
Maka karakteristik Nabi Ibrahim dan ajarannya harus senantiasa hidup guna menyelamatkan kehidupan ini. Maka jadilah Ibrahim-Ibrahim yang senantiasa menyalakan api ajaran Tauhid di bumi ini.***
Wallahu ‘alam bish-showab.
Iman Soleh Hidayat, aktivis Forum Kajian Paramuda Persis dan Sapa Institute