Cinderella Complex dan Perjuangan Perempuan*

  • Whatsapp
Theasianparent.com | Kisah hidup Cinderella dalam dongeng menjadi inspirasi banyak perempuan untuk bertemu dengan sosok pangeran impiannya. Itulah yang melatarbelakangi munculnya Cinderella Complex di zaman modern ini.

Oleh: Vini Zulva

Dalam relasi romantis masyarakat heteroseksual, banyak anggapan laki-laki haruslah mapan serta tangguh untuk menunjang kisah cinta, karena harus menjadi penopang bagi pasangan perempuannya. Dalam hal ini perempuan tidak diharuskan menjadi sosok yang mandiri, karena ia hanya perlu mendasarkannya pada laki-laki, kekasihnya. Bahkan sempat beredar meme bahwa laki-laki adalah ojeknya perempuan, saking bergantungnya para perempuan terhadap laki-laki.

Masyarakat umum membuatnya seolah-olah normal dan hanya menganggap sebagai suatu kewajaran. Padahal hal tersebut merupakan bagian dari sindrom cinderella complex di mana para perempuan memiliki karakter yang sama persis dengan tokoh fiktif dalam cerita Cinderella, memiliki kebahagiaan hanya ketika ia bersama seorang pangeran mapan dan kuat. Dengan begitu, Cinderella tidak perlu dipusingkan oleh berbagai ancaman dan kemiskinan yang mengerikan.

Nama sindrom Cinderella Complex sendiri dikenalkan oleh seorang perempuan asal Amerika Serikat bernama Colette Dowling melalui bukunya yang berjudul The Cinderella Complex: Women’s Hidden Fear of Independence. Menurutnya (Dowling, 1981), perempuan tidak terlatih menggapai suatu kebebasan, karena umumnya perempuan mengandalkan orang yang ia anggap lebih kuat untuk sekedar merasa aman.

Pendidikan atau proses sosialisasi semasa kecil ialah akar masalahnya. Dowling menyatakan bahwa kita telah terbiasa dengan kasih sayang orang tua, menyandarkan diri kita pada sosok pelindung. Namun perbedaannya ialah laki-laki lebih banyak terlatih, karena dididik sedemikian rupa untuk menjadi manusia independen sehingga ia lebih bebas dari berbagai rasa takut.

 

Seksisme Adalah Akar Permasalahan

“Kamu anak laki-laki, jangan nangis. Kamu harus kuat!” bagi kebanyakan laki-laki, hal ini adalah suatu kelumrahan yang dikatakan orang tua di masa kecil saat menangis atau meringis kesakitan. Berbeda halnya dengan anak perempuan, yang jarang sekali mendapatkan dukungan dan penguatan semacam ini, karena cengeng bukan suatu masalah bagi perempuan. Lain halnya ketika anak laki-laki, segera mungkin akan dilabeli menyalahi kodrat karena telah menyerupai perempuan yang cengeng.

Laki-laki dan perempuan telah dibedakan sedari kecil, melalui kelompok masyarakat paling kecil yaitu keluarga, kita diajarkan untuk menjadi perempuan dan laki-laki sebagaimana yang masyarakat inginkan. Laki-laki menjadi sosok yang mandiri, tangguh, kuat, dan segala hal yang berkaitan dengan nilai-nilai maskulin. Sedangkan perempuan diharuskan menjadi sosok yang berkebalikan dengan laki-laki atau mengadopsi nilai-nilai feminin.

Baik feminin maupun maskulin keduanya merupakan konstruksi masyarakat, bukan suatu hal yang kodrati dan alamiah. Sehingga baik perempuan maupun laki-laki berpotensi memiliki salah satu atau bahkan keduanya. Karena gender sebagaimana Mansour Fakih katakan dalam karyanya Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2008) adalah hal yang dapat dipertukarkan, tidak permanen keberadaannya karena dapat berubah seiring berjalannya waktu.

Kesalahan fatal dari pembedaan berdasarkan jenis kelamin yang masyarakat umum anggap suatu hal kodrati tersebut ialah berdampak pada ketimpangan dan penindasan. Pihak perempuan adalah pihak yang paling banyak dirugikan, meskipun laki-laki memiliki potensi yang sama menjadi korban sistem. Pasalnya, perempuan disematkan sebagai sosok yang lemah, sehingga begitu rentan mendapatkan perlakuan tidak adil, tidak boleh keluar malam, membutuhkan pendamping dan hanya boleh mengurus pekerjaan domestik.

Jikapun perempuan mengadopsi nilai-nilai maskulin, masyarakat akan langsung memberikan label negatif, seperti perkataan umum yang sering kita dengar yaitu perempuan tidak baik. Begitupun laki-laki yang menjadi korban dari toxic masculinity, yang tidak dibolehkan memilih ekspresi gender selain maskulin mereka akan dilabeli dengan “bukan laki-laki”.

 

Perjuangan dan Perlawanan Perempuan adalah Kunci

Sejak wacana dan gerakan perempuan muncul, dunia sedikit banyaknya telah berganti rupa. Namun tetap tidak menjadikan penindasan hilang. Karena  penindasan perempuan tidak hanya disebabkan oleh seksisme belaka, melainkan ada hal lain yang turut memberikan sumbangsih sehingga penindasan tersebut bersifat interseksional. Dengan kata lain, perempuan tidak hanya tertindas oleh tatanan sistem yang seksis, tapi juga oleh sistem ekonomi neoliberal yang kapitalistik dan rasisme.

Adalah Bell Hooks (2000), seorang teoretikus feminis yang melihat ketertindasan perempuan dikarenakan seperangkat sistem, sehingga menurutnya feminisme harusnya ialah gerakan yang membebaskan perempuan dari berbagai belenggu. Ia juga mengkritik gerakan yang hanya berfokus untuk membenci laki-laki atau kita kenal dengan istilah misandris. Gerakan perempuan bukan untuk beradu hebat dengan laki-laki, melainkan untuk membebaskan manusia.

Di berbagai belahan dunia, banyak para perempuan yang menyuarakan dan menuntut keadilan sebagaimana yang disuarakan oleh Bell Hooks. Mereka menentang segala mitos yang selama ini dibangun masyarakat tradisional untuk melemahkan kaum perempuan.

Kelompok yang paling lantang menyuarakan dan mendobrak kemapanan, bahkan berkat perjuangannya sampai saat ini diperingati sebagai hari perempuan internasional ialah para perempuan kelas buruh. Mereka menuntut apa yang seharusnya sebagai manusia independen, yang memiliki hak sosial juga politik.

Pun di Indonesia, yang dicatat dalam sejarah memiliki kelompok-kelompok perempuan, mengikis segala bentuk opressi. Yang dilakukannya ialah mengentaskan buta huruf bagi para perempuan, menghapuskan faham tua seperti poligami juga pernikahan anak yang menjadi tren pada masa itu.

Namun zaman keemasan bagi kelompok perempuan mengalami pasang surut. Sejak rezim Orde Baru hadir, gerakan perempuan dilemahkan. Saat ini, setelah reformasi banyak gerakan perempuan yang bangkit kembali, mencoba membuat para perempuan berdaya kembali setelah 32 tahun lamanya dilemahkan oleh rezim.

 

Penulis: Vini Zulva (Sapa Institute)

*Coretan pengantar diskusi: Cinderella Complex dan Gerakan Perempuan Masa Kini di HMJ HTN UIN Sunan Gunung Djati Bandung

 

Referensi:

Dowling, Colette. 1981. The Cinderella Complex: Women’s Hidden Fear of Independence. New York: Pocket Books

Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Hooks, Bell. 2000. Feminism is For Everybody : Passionate Politics. Cambridge: South End Press

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *