Siang itu, gerimis mulai turun di Kampung Bojong Becik, Desa Mekarpawitan, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung. Satu persatu ibu-ibu berdatangan ke sebuah madrasah. Beberapa diantara mereka ada yang berusia 70-an tetapi masih tampak segar dan semangat mengikuti pertemuan rutin Bale Istri. Pertemuan kesekian kalinya ini diisi dengan diskusi tentang materi Ketidakadilan Gender yang disampaikan oleh fasilitator dari SAPA.
Dalam diskusi tersebut, ibu-ibu belajar mengidentifikasi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayahnya. Sesi berbagi informasi dan curhat dalam pertemuan tersebut pun tak kalah menarik diikuti dengan antusias oleh para ibu. Dari semua sesi, terungkap bahwa di Desa Mekarpawitan kasus-kasus pernikahan dini dan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) masih belum dianggap sebagai masalah serius yang mesti ditangani. Kasus-kasus yang diinformasikan para ibu hampir diabaikan sebagai masalah pribadi.
Antusiasisme berbagi informasi dan berdiskusi para ibu di kampung tersebut sangat membanggakan karena komunitas Bale Istri di Desa Mekarpawitan baru dibentuk di akhir 2015, berada di Kecamatan yang sama dengan Bale Istri di Pabeyan Desa Cipaku yang lebih dulu didirikan tahun 2007. Eti Rohaeti, pendiri sekaligus koordinator Bale Istri Mekarpawitan mengungkapkan bahwa ia dan beberapa ibu-ibu di kampung Bojong Becik terinspirasi turut menginisiasi Bale Istri karena dengan berkomunitas, mereka berharap bisa mengenal persoalan-persoalan perempuan di wilayahnya.
“Selain bisa bersilaturahim, berkomunitas di Bale Istri juga menambah wawasan dan ilmu bagi saya. Saya jadi belajar mengenal isu-isu gender dan persoalan perempuan. Meski saya lulusan SD, saya percaya diri aja. Malah saya juga sering menyempatkan diri ikut belajar bersama di pertemuan Bale Istri Desa Cipaku,” ujarnya. Ia juga mengungkapkan, tak sedikit perempuan di desanya sangat antusias mengikuti program belajar membaca dan menulis yang difasilitasi oleh SAPA. Meskipun yang muda-muda sebagian ada yang masih malu mengikuti program ini.
Mak Rosidah (67), salah-satu peserta program ini, minta pertemuan program belajar lebih sering diadakan. “Abdi mah hoyongna teh unggal dinten diajar maca, ngetang sareng nyerat. Meh pinter (saya maunya setiap hari belajar membaca, berhitung dan menulis. Biar pintar),” ucapnya sambil tertawa.
Eti Rohaeti menambahkan, perempuan muda di desa ini kebanyakan lulusan SD dan SMP. Mereka kebanyakan bekerja di pabrik tenun. Tak sedikit yang memilih menikah dini. Ia juga khawatir dengan kasus-kasus KDRT yang belum terungkap di daerahnya. Ia mengaku, saat ini komunitas sedang belajar mencatat data kasus kekerasan dan persoalan-persoalan perempuan yang terjadi di wilayahnya. Selain itu, Bale Istri Mekarpawitan belajar berkoordinasi dengan Bale Istri dari wilayah lain. “Kami berkoordinasi juga dengan Bale Istri lain, sharing, dan turut juga mengikuti kegiatan-kegiatan SAPA seperti HAKTP, outbond dan Forum Komunikasi Bale Istri. Mudah-mudahan semua aktivitas itu kelak membuat perubahan yang berarti bagi perempuan di desa kami,”pungkasnya.* (BTM)