Sapa Institute : “Memberdayakan Korban KDRT, Sukses Berwiraswasta”

  • Whatsapp

Sebut saja Sugih Hartini, wanita yang pernah mendapat pengalaman sebagai korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) kini telah sukses dalam berwirausaha. Tidak hanya itu saat ini ia juga menjadi pendamping Bale Istri. Dirinya telah pulih dari trauma KDRT yang dulu pernah menghantuinya. Kekerasan yang dilakukan suaminya tujuh tahun silam menghancurkan rumah tangganya. Kasus perceraian titik klimaks cerita kelamnya.

Perlakuan yang tak baik dari suaminya hingga ia harus menjadi korban KDRT. Lebih dari itu Sugi dan Suaminya pisah saat mengandung anak ketiganya. Anak yang seharusnya menjadi anugerah, tapi siapa sangka kenyataan menjadi berbeda hingga suami yang ia idamkan itu telah memberi perlakuan buruk terhadapnya hingga rumahtangganya yang selama ini ia bina harus berakhir di pengadilan.

Prustasi dan rasa putus asa yang melanda harus merelakan Sugi untuk berpindah rumah dari Kota Bandung ke daerah terpencil yang ada di Kabupaten Bandung yaitu Kampung Pabeyan tinggal bersama ibunya demi menenangkan hatinya. tidak sendirian Sugi mengajak ketiga anaknya untuk tinggal ditempat barunya.

Di rumah berukuran kurang dari 5×5 meter itu Sugi harus rela tinggal berdesak-desakan bersama ketiga anaknya, disanalah ia harus rela tidur bersama ibu dan keluarganya. Suasana seperti itulah bisa membuat ia tenang. Dari kejadian tersebut, Sugi hanya bisa termenung hingga membuat dirinya stress. Tak kuasa melihat Sugi seperti itu sodaranya mendatangkan Sapa Institut untuk mendampingi Sugi yang tteroma terhadap prilaku suaminya dulu.

Sugi mengatakan, saat kedatangan Sapa Institut pada kehidupanya ia anggap hanya memperkeruh suasana saja. Saya menolak dan mengusir mereka tanpa tau tujuan apa yang mereka maksud saya hanya berprilaku sensitif kepada orang-orang yang ikut campur, terutama ikut campur dalam urusan rumahtangganya. “Saya sulit menerima kehadiran orang baru, yang ada hanya bisa marah-marah saja. Seiring waktu berjalan dan pendekatan Sapa yang cukup baik terhadap saya akhirnya saya mulai terbuka. Alhamdullilah saya sekarang sudah move on.”

Dengan nada sendu ia mengaku, dirinya dulu sempat prustasi dan stress atas kasus perceraian dengan suaminuanya. Dengan bantuan Sapa perekonmian keluarga terbantu dan rohaninya mulai sehat. “Ya, mau apalagi yang disesalin itu sudah terjadi, jika bukan Sapa mungkin saya akan menjadi TKW dan mungkin juga disana saya akan menjadi korban tracfiking seperti di tv-tv. Untung ada Sapa, terimakasih” ujarnya saaat ditemui Kerteraharja di kediamannya.

Jikka bukan Sapa yang datang kepada kehidupan saya, mungkin saya hanya akan diam dengan segala ketidak tahuan atas kasus KDRT yang dialami oleh saya. Siapa yang menyangka bila seorang perempuan tangguh bernama Sugi Hartini asal Pabeyan Kabupaten Bandung ini, menjadi pendamping Bale Istri Pabeyan yang mampu menginspirasi banyak orang. “Dari korban hingga menjadi pendamping saat ini saya jalani demi memberi pendidikan KDRT terhadap korban-korban baru.”

Korban KDRT di lingkungannya saat ini cukup tinggi, ada sekitar 30 orang yang tergabung di Bale Istri Pabeyan. “Dulu saya pernah menjadi korban dan saat ini saya menjadi pendamping mereka,” sembari meneteskan air mata ia terus bercerita.

Dalam penanganannya Sugi mengatakan, sempat ada yang meninggal karena kasus KDRT bahkan kasusnya tidak beres, “Nyampe dia menginggal setstusnya tetap menjadi korban, bahkan ada yang sampai gila karena stres,” katanya.

Anggota yang tergabung dalam kelompok Bale Istri nantinya diberdayakan untuk berwirausaha. Dari 30 anggota yang tergabung, 10 diantaranya aktif dalam berwirausaha. Saat ini, Sugi fokus berwirausaha makanan olahan kripik singkong. dari bisnis tersebut ia bisa membiayai ketiga anaknya yang diantaranya bersekolah di SMA dan SD.

Kripik singkong yang diproduksinya saat ini sudah di pasarkan ke pasar-pasar di Kabupaten Bandung, tak jarang juga ada yang pesan langsug ke rumahnya untuk dibawa sebagai olehh-oleh. “Banyak orang datang kesini memesan kripik singkong dari saya untuk dijadikan oleh-oleh. Ada yang membawwanya ke Jakarta, Bogor bahkan Sumatera dan Kalimantan,” ujarnya.

Setiap minggunya Sugi memprduksi kripik singkong sekitar 60 Kg, kripik singkong yang diproduksinya mempunyai berbagai macam rasa. Meski usahanya masih bersekala kecil ketiga anaknya berhasil ia sekolahkan meski bekerja sendirian.

Berkat dampingan Sapa Institut Sugi salahsatu korban KDRT sukses dalam berwirausaha dan juga saat ini ia menjadi pendamping di Kelompok Bale Istri yang dibinanya sejak 6 tahun lalu dan menjadi panutan bagi para anggotanya. “Sekali lagi terimakasih Sapa.”

Sugi sembuh dari mulai keadaan fisik hingga sikis, keluarga cukup senang karena ia sembuh dan sukses dalam berwirausaha, selain itu juga Sapa berhasil mendekatkan mantan suaminya dengan anak-anak Sugi. “Ya, bapanya sering kesini memberi uang jajan mereka dan bersilaturahmi kepada keluarga,” katanya. Meski saat ini statusnya hanya mantan suami tapi Sugi tetap menjaga silaturahminya demi kebaikan keluarga khususnya anak-anak mereka.

Sapa Institut Fokus Penanganan KDRT di Kabupaten Bandung

Sapa Institut LSM yang fokus dalam pemberdayaan para korban KDRT yang tergabung dalam kelompok Bale Istri. Dalam pemberdayaannya mereka mngajarkan para korban KDRT berwisrausaha sesuai potensi dirinya masing-masing. Biasanya para anggota yang tergabung dalam kelompok bale isteri tersebut memproduksi suatu kerajinan atau olahan makanan yang mempunyai nilai ekonomis dan dapat membantu pemasukan untuk biaya hidup sehari-hari.

Maman Koswara Pendamping Lapangan Sapa Institut, mengatakan pemberdayaan tersebut meliputi, pelatihan ketrampilan, input produksi, kegiatan berkelompok dan sistem pemasaran. Setelah melakukan pendekatan dan proses penyembuhan fisik maupun psikologis oleh pendampingan terus dilakukan dengan berwirausaha.

Ada ribuan korban KDRT di Indonesia, meskipun tidak semua situasi menjadi perhatian aparat penegak hukum. Korban KDRT bergantung pada polisi untuk melindungi mereka, tapi banyak korban enggan untuk melaporkan kejahatan seperti itu karena mereka takut akan pembalasan dan malu serta alasan lainnya. Sehingga sangat jarang sekali yang terungkap dan terjerat oleh Hukum, sebenarnya ada banyak faktor selain si korban enggan untuk melapor dan juga tidak tahu kemana harus melapor juga bingung bagaimana cara melapor.

Tidak seperti membalikan telapak tangan bagi Sapa Institut untuk mengajak para korban KDRT masuk menjadi anggota Bale Istri. Selain banyak berbenturan dengan keluarga korban, biasanya para korbanpun menutup diri dan tak menerima kehadiran oranglain sekalipun itu akan membantu masalah yang dialaminya.

Perbuatan KDRT yang dilakukan seseorang terhadap pasangan suami/istri kerap terjadi dalam rumah tangga, itu dikarenakan dorongan maskulinitas tradisional. Rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat di Indonesia mengakibatkan mereka menjadi sasaran empuk praktik kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan tersebut biasanya dominan dilakukan oleh seorang laki-laki/suami dan perempuan/istri menjadi korban. Di Kabupaten Bandung kasus KDRT acapkali terjadi namun biasanya seseorang yang menjadi korban enggan melaporkan tindakan yang dialaminya dan terkesan ditutup-tutupi.

Umumnya kasus KDRT menimpa masyarakat pedesaan yang memiliki pendidikan minim, dalam hal ini pendidikan tinggi sangat berperan penting untuk mrngurangi kasus KDRT di Indonesia. Maman mengatakan, Kasus KDRT umumnya terjadi di masyarakat pedesaan yang berpendidikan minim, dalam hal ini pendidikan tinggi sangat berperan penting dalam penaurunan angka kasus KDRT di Indonesia.

KDRT di Indonesia masih dianggap tabu karena berbenturan dengan budaya. “Jika dilihat dari sudut pandang hukum KDRT memang melanggar hukum. Tapi, ketika dibenturkan dengan budaya masyarakat KDRT hanya dianggap sebagai urusan rumah tangga pribadi,” katanya.

Sebagian besar warga di pedesaan masih menganggap persoalan kekerasan sebagai bagian dari urusan privat masing-masing rumah tangga sehingga warga cenderung tertutup. Hal tersebut menambah kasus daftar panjang KDRT di kabupaten yang berpenduduk 3,2 juta jiwa ini. Sekalipun mereka melihat ada KDRT, warga diam dan tidak melaporkannya ke pihak berwenang.

Sayangnya, belum ada data resmi dari lembaga pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ataupun instansi pemerintahan di Kabupaten Bandung mengenai jumlah tindak kekerasan yang umumnya dialami istri ini.

Prilaku kekerasan tidak akan muncul begitusaja, selain masalah pendidikan masalah ekonomi sering disangkut pautkan sehingga menimbulkan pertengkaran dalam rumah tangga yang mengakibatkan kekerasan. Pemenuhan kebutuhan keluarga yang tidak dapat tercukupi dapat memicu riak-riak pertengkaran dan bisa memicu kekerasan. “Kondisi ekonomi keluarga menjadi penyebab utama dari pertengkaran dalam rumah tangga, yang bisa memicu kekerasan dalam rumah tangga tersebut,” katanya.

Dampak yang ditimbulkan KDRT yaitu kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah tangga.

Dalam pemberdayaan KDRT, Sapa Institut fokus dan peduli untuk membangun masa depan perempuan yang lebih baik, mandiri dan sejahtera. Untuk mewujudkan harapan tersebut, Sapa Institut mengorganisir kelompok perempuan di berbagai kecamatan di Kabupaten Bandung dari tahun 2009, Sapa Institut telah telah berhasil membentuk dan mengembangkan 10 komunitas perempuan yang dinamai “Bale Istri” yang ada di 6 kecamatan yaitu paseh, pangalengan, Pacet, Ciparay, Majalaya dan Arjasari.

Bale Istri sebagai komunitas perempuan yang berfungsi sebagai pusat layanan komunitas untuk pendidikan, informasi, komunikasi dan pendampingan perempuan. Bale istri dan Sapa Institut aktif mendampingi dan melakukan penguatan terhadap kelompok-kelompok perempuan di tingkat lokal (pedesaan) sehingga mereka mampu memahami persoalannya, saling mendukung dalam mengatasi persoalan, dan mengkonslidasikan suara dan kebutuhan mereka untuk disampaikan kepada para pembuat kebijakan.

Sejak awal berdiri Bale istri bersama-sama dengan Sapa Institut melakukan pendampingan dan penyebaran informasi tentang persoalan-persoalan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kesehatan reproduksi. Selain itu Bale Istri menjadi salah satu kelompok perempuan yang ikut melahirkan Peraturan Daerah tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Balita (PERDA KIBBLA) di kabupaten Bandung.

Selain itu Maman menjelaskan, pihaknya saat ini sedang gencar-gencarnya menangani kasus KDRT di Kabupaten Bandung. Nyawa mereka bisa melayang karena depresi berat, terus yang kami takutkan biasanya mereka yang tak bisa ikut dalam kelompok Bale Istri menjadi TKI sebagai pelarian. “Bukannya untung mereka di negeri orang, tapi malah menjadi korban humman tracfiking yang menambah daftar panjang kekerasan pada perempuan,” ungkapnya.

Untuk keluar dari hubungan yang kasar atau penuh kekerasan itu memang tidak mudah. Mungkin mereka masih berharap bahwa keadaan akan berubah. Mungkin mereka takut apa yang akan pasangannya lakukan jika pasangannya mengetahui kalau mereka mencoba untuk pergi. Apapun alasannya, mereka mungkin merasa terjebak dan tak berdaya.

Meskipun meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan bisa menakutkan, Tapi risiko untuk tetap tinggal juga terlalu besar. Kabar baiknya adalah bahwa ada sumber daya yang tersedia bagi perempuan korban kekerasan, termasuk hotline dapat kita hubungi untuk meminta saran, tempat penampungan di mana perempuan korban kekerasan bisa tinggal, jasa hukum, bantuan psikologis, dan pengasuhan anak. Perempuan berhak untuk hidup bebas dari ketakutan. Kita dapat membuat itu semua terjadi dengan mengambil langkah untuk memproteksi diri sendiri dan meminta bantuan. Jangan menunggu!

Pelaporan Dan Prosedur Hukum

Perempuan yang mengalami KDRT dapat melaporkan kejadian itu secara langsung melalui jalur hukum ke UPPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) di Polres terdekat. Dan dia juga dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan KDRT kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Selain itu korban atau keluarga juga dapat meminta bantuan dari relawan pendamping (lembaga yang disebutkan sebelumnya) untuk mendampingi korban melaporkan ke pihak kepolisian dan juga pendampingan untuk memulihkan kondisi psikisnya.

Jika sudah melakukan pelaporan ke pihak kepolisian, maka pihak kepolisian wajib memberikan perlindungan sementara kepada korban paling lama 7 hari. Hal ini penting jika korban tidak segera mendapatkan tempat perlindungan bagi dirinya dan anak-anak, karena besar kemungkinan pelaku akan melakukan teror/intimidasi. Korban juga wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, dengan cara mengajukannya secara tertulis oleh korban, keluarga, teman, atau pendamping korban kepada ketua pengadilan di wilayah kejadian berlangsung. Dan harus disetujui korban, tapi bisa juga tanpa persetujuan korban jika korban pingsan, koma atau sangat terancam jiwanya. Korban juga bisa mengajukannya secara lisan yang akan dicatat oleh panitera pengadilan negeri. Perintah perlindungan ini dapat berlaku paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan,

Selain itu korban juga perlu untuk mencatat kronologis kejadian, mengumpulkan bukti (seperti hasil visum) dan saksi, menceritakan masalah yang dialaminya secara terbuka dan jujur kepada para pendamping, mempersiapkan mental dan fisik karena harus melewati proses hukum yang panjang serta kemungkinan teror/intimidasi dari pelaku terhadap korban atau keluarga. KDRT yang dialami perempuan yang menjadi korban dapat sangat berdampak pada kondisi psikoligisnya, bahkan mereka dapat mengalami trauma. Maka diperlukan para pendamping yang memberikan bantuan secara psikologis untuk memulihkan kondisi psikisnya. ***Wisma Putra

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *