Perlunya upaya penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sosialiasi pengenalan bentuk-bentuk kekerasan seksual perlu segera dipahamkan kepada masyarakat. Karena banyak masyarakat yang tidak mengetahui ciri-ciri kekerasan seksual pada korban terutama anak dan perempuan, sehingga kasus-kasus kekerasan baru terungkap setelah kejadian lama terjadi. Selain itu, banyak masyarakat yang enggan untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan yang terjadi.
“Pencegahan dan penanganan memerlukan keterlibatan berbagai unsur masyarakat dan pemerintah. Oleh sebab itu, Sapa Institut selalu membuka ruang dialog antar lintas stakeholder untuk membangun koordinasi dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi,” papar Nonok Faridah selaku fasilitator dari Sapa Institut, dalam pertemuan koordinasi lintas stakeholder di Desa Cipaku Kecamatan Paseh, pada hari Minggu (28/11).
Tujuan pertemuan ini, lanjut Nonok, yaitu membangun koordinasi dan komunikasi antar stakeholder kecamatan Paseh terkait isu kekerasan seksual dan memetakan wilayah-wilayah rawan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. “Diharapkan ke depannya ada koordinasi antar stakeholder terkait dengan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual dan terpetakannya wilayah-wilayah rawan kekerasan seksual di kecamatan Paseh,” tandasnya.
Kegiatan ini dihadiri oleh para kader PKK desa cipaku, tim penyuluh kesehatan puskesmas kecamatan paseh, perwakilan PLKB Paseh, Ibu Kades Cipaku, Bidan serta perwakilan Bale Istri dari Pabeyan dan Ebah.
Fasilitator sekaligus RW setempat, Ridwan Affandi, menjelaskan bahwa selama 3 tahun angka kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan terus mengalami peningkatan. “Umumnya pelaku adalah orang-orang yang sangat dikenal oleh korban bahkan sangat dekat dengan korban. Sehingga korban menjadi takut untuk melaporkan kejadian karena berada dalam ancaman pelaku,” ungkapnya.
Beberapa poin penting diskusi dalam pertemuan tersebut yaitu kurangnya pemahaman masyarakat mengenai isu kekerasan seksual dan masih banyak masyarakat/keluarga korban yang memilih jalan berdamai dengan pelaku (dinikahkan) walaupun tanpa persetujuan dari korban. Poin lainnya, banyaknya kasus kekerasan seksual terjadi (terutama hubungan seksual yang dipaksa misalnya oleh pacarnya)–namun keluarga tidak menempuh jalur hukum. Poin yang tak kalah penting, banyak kasus hamil diluar nikah, kemudian korban diasingkan keluar daerah karena takut diketahui oleh masyarakat.
Peserta merekomendasikan beberapa hal untuk pencegahan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, diantaranya perlu adanya sosialisasi mengenai kekerasan seksual untuk orangtua murid di TK, PAUD dan SD, selanjutnya sosialisasi di setiap Sub -PKK di kecamatan paseh serta adanya pelatihan dan pengenalan bentuk-bentuk kekerasan seksual bagi orang tua yang mempunyai anak dibawah umur.
Rekomendasi lainnya yaitu melakukan pendataan pernikahan anak di setiap sub-PKK dan perlunya memasukkan kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam program desa dan kecamatan.
Fasilitator mengajak peserta untuk merancang program dan kegiatan bersama untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan. Salah satu hal yang disepakati oleh peserta adalah melakukan sosialisasi pengenalan terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual disetiap posyandu di seluruh sub-PKK di kecamatan Paseh.
Selain itu, khusus untuk sub-PKK dan Baleistri Paseh, perlunya mengagendakan pertemuan dengan kepala desa Cipaku terkait dengan usulan kegiatan pencegahan dan penanganan korban kekerasan untuk dimasukkan ke dalam program kerja desa.
Fasilitator juga meminta kepada peserta untuk melakukan pendataan terkait dengan kasus-kasus yang terjadi di sekitar mereka dan mengkoordinasikan dengan para pendamping Bale Istri dan Sapa Institut.
Sri MuIyati, direktur Sapa Institut, mengatakan bahwa informasi dari stakeholder dapat membantu dalam memetakan wilayah-wilayah rawan kekerasan seksual di kecamatan Paseh. “Dengan adanya forum komunikasi lintas stakeholder, informasi kasus kekerasan seksual lebih cepat terkoordinasikan dengan para pendamping Bale Istri. Selain itu membantu dalam pengurusan keperluan administrasi penanganan kasus,” ungkapnya. (*)