Duduk Bersama Suarakan Hak Disabilitas dengan Komisi Nasional Disabilitas

  • Whatsapp

Sapa Institute bersama Rumah Inklusi Indonesia (RUMII) sebagai perwakilan Simpul Belajar Madani (SIMBAD) menghadiri sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Disabilitas (KND) di UPTD Layanan Keterlantaran dan Disabilitas, Kabupaten Bandung, Jumat (13/5/2022).

Sebagai lembaga yang baru dilantik pada tanggal 1 Desember 2021, KND memiliki tugas untuk melakukan pemantauan, pengevaluasian serta advokasi atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak orang dengan disabilitas. Untuk itu, melalui diskusi ini KND melakukan asesmen hak-hak orang dengan disabilitas di Kabupaten Bandung.

Demi kesuksesan acara tersebut, KND mengundang Organisasi Masyarakat Sipil yang fokus di isu disabilitas untuk sama-sama memberikan suara di forum diskusi. Di antaranya RUMII, Pertuni, Forum Musyawarah Guru Pembimbing Khusus (FMGPKH), NPCI dan Lembaga Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas (LKSPD).

Direktur RUMII, Handayani menilai, stigma miring terkait orang dengan disabilitas masih kuat dan mengakar di lingkungan masyarakat umum. Akibatnya, mereka selalu dipandang sebelah mata dan dianggap lemah.

“Di lingkungan keluarga, orang dengan disabilitas seringkali dianggap aib dan beban keluarga. Di lingkungan masyarakat, dijadikan sebagai objek belas kasihan dan perundungan,” ujar Handayani dalam paparan diskusinya.

Fasilitas terhadap kaum disabilitas pun seakan tidak sepenuhnya serius disediakan. Kurangnya sarana dan prasarana masih menjadi persoalan umum bagi kaum disabilitas untuk mendapat hak berpendidikan.

“Dalam dunia pendidikan, orang dengan disabilitas seringkali dihadapkan pada jauhnya jarak tempuh menuju sekolah, kurangnya askes serta tidak ada sarana prasararna yang memadai, keterampilan guru, kurangnya ketersediaan jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sistem kurikulum sekolah”, kata Handayani.

Senada dengan Handayani, Didin Syarifudin dari Sapa Institute menyampaikan bahwa perempuan dengan disabilitas sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang asing maupun orang terdekatnya seperti keluarga.

Ketika kasus dibawa ke ranah hukum, pengakuan mereka seringkali dianggap tidak valid. Mereka juga memiliki hambatan dalam komunikasi, sehingga sulit menyampaikan kronologis. Hal lainnya yaitu kurangnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) terkait disabilitas.

Semua peserta turut aktif dalam menyampaikan suara-suara orang dengan disabilitas. Saat kegiatan telah sampai di penghujung acara, para peserta membuat kesepakatan untuk mendorong Perda mengenai disabilitas yang ke depannya dapat dijadikan sebagai acuan di Kabupaten Bandung. Beriringan dengan itu, akan dibentuk Komisi Disabilitas Daerah (KDD) untuk mewadahi aduan dan aspirasi terkait disabilitas.*** (Vini Zulva)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *